Uncategorized

Rumah RJ Mencari Kedamaian, Bukan Tempat Menyembunyikan Perkara

Purwakarta, Fokus Tajam|| Kehadiran Rumah Restorative Justice (RJ) di 192 desa dan kelurahan di Kabupaten Purwakarta menandai komitmen pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam mewujudkan keadilan yang humanis. Lebih dari sekadar wadah, Rumah RJ hadir sebagai sarana bagi masyarakat untuk mencari jalan damai melalui mediasi dan musyawarah, bukan untuk menyembunyikan perkara hukum.Rabu,(27/25)

Restorative Justice mengedepankan pemulihan hubungan sosial antara korban, pelaku, dan masyarakat. Pendekatan ini berbeda dari pola represif, karena lebih menekankan dialog konstruktif, pemulihan kerugian yang dialami korban, serta kesepakatan bersama agar konflik tidak berlarut-larut dan merugikan semua pihak.

Adapun kriteria perkara yang dapat diajukan ke Restorative Justice meliputi:

1. Tindak pidana ringan dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.

2. Nilai kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta, sebagaimana diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2012, SE Kapolri Nomor 8 Tahun 2018, dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020.

3. Adanya kesepakatan damai antara pelaku dan korban yang dilakukan tanpa paksaan dari pihak manapun.

4. Pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana, sehingga diharapkan memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.

5. Perkara tidak menyangkut kejahatan serius seperti narkotika, terorisme, korupsi, atau tindak pidana yang mengancam nyawa.

Lantas, bagaimana jika nilai kerugian berada di atas Rp2,5 juta? Secara umum, perkara tersebut tidak dapat diajukan ke Restorative Justice karena tidak lagi termasuk kategori tindak pidana ringan. Perkara dengan kerugian di atas Rp2,5 juta harus diproses melalui jalur hukum formal, kecuali ada alasan yang patut dan layak serta mendapat persetujuan khusus dari pimpinan Kejaksaan atau Polri, sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.

Penerapan Restorative Justice tidak boleh disalahgunakan. Publik sering kali menilai bahwa dalam persoalan hukum selalu ada celah dan praktik yang kurang transparan, seperti perkara yang dipaksakan damai padahal tidak memenuhi syarat, tekanan terhadap korban agar menerima penyelesaian yang merugikan, dan penyalahgunaan kewenangan untuk menutup akses hukum formal.

Oleh karena itu, potensi penyimpangan ini harus diawasi secara ketat melalui mekanisme evaluasi yang berkelanjutan, transparansi proses yang terjamin, serta pelibatan tokoh masyarakat yang memiliki integritas.

Apabila dalam praktiknya terjadi penyimpangan, maka konsekuensinya jelas:

  • Proses RJ dibatalkan dan perkara dikembalikan ke jalur hukum formal untuk diproses sesuai ketentuan yang berlaku.
  • Aparat atau fasilitator RJ yang terbukti menyalahgunakan kewenangan dapat dikenakan sanksi etik maupun pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
  • Korban tetap mendapat perlindungan hukum, sehingga hak-haknya tidak boleh diabaikan dan harus dipenuhi.
  • Masyarakat dapat melapor ke lembaga pengawas institusi, termasuk Ombudsman, jika merasa ada manipulasi atau pemaksaan dalam proses RJ.

Dengan demikian, Rumah RJ hadir sebagai wujud mediasi, bukan tindakan represif. Fungsinya adalah sebagai ruang damai bagi warga untuk menyelesaikan konflik melalui musyawarah, dialog, dan pemulihan, bukan untuk menyembunyikan perkara hukum.

Perlu diingat, kerugian di atas Rp2,5 juta umumnya tidak dapat diajukan ke RJ, dan perkara wajib masuk jalur hukum formal kecuali ada alasan khusus dan diskresi dari pimpinan Kejaksaan atau Polri. Jika terjadi penyimpangan, proses RJ dibatalkan, aparat dan fasilitator dapat dikenakan sanksi etik atau pidana, sementara korban tetap mendapat perlindungan hukum dan haknya terjamin.

Agus M. Yasin

Penulis adalah Pengarmat Kebijakan Publik di Purwakarta.

(red)

fokustajam

fokustajam.com menyajikan berita berdasarkan fakta, berimbang, tajam dan terpercaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *